Selasa, 23 Oktober 2012

Ketua DPP PKS Bidang Perempuan Anis Byarwati Raih Doktor Terbaik Unair


“Tak banyak perempuan yang seperti Anis Byarwati. Ketua DPP PKS bidang perempuan itu tergolong sibuk. Meski menjadi politikus, mengurus akademi D-3, dan bersekolah lagi, suami serta delapan anaknya tetap terurus baik. Anis membuktikan, sibuk dan berkarya di luar rumah bisa dilakukan sekaligus dengan mengurus keluarga,” ujar Kardono Setyorakhmadi.

WAJAH Anis Byarwati semringah Sabtu(20/10) kemarin. Begitu pula keluarganya. Sebab, perempuan kelahiran Surabaya 45 tahun silam tersebut dinobatkan sebagai wisudawan terbaik jenjang S-3 di auditorium Universitas Airlangga (Unair). Doktor ekonomi Islam tersebut lulus dalam waktu tiga tahun saja.

Anis mengaku lega. Dia menyebutnya sebagai keberhasilan keluarga. “Kalau tidak didukung suami ini, mana bisa saya lulus seperti ini,” ujarnya melirik Isbir Renwarin, suaminya, yang berdiri di sampingnya sambil menenteng kamera DSLR. Anis juga menyebut delapan anaknya sebagai orang-orang paling penting yang membantu dirinya.

Karena berdomisili di Jakarta, jadwal Anis ketika kuliah S-3 memang sangat padat. Terutama Sabtu dan Minggu, saat kuliah itu dilangsungkan. “Sabtu pukul 03.00, saya sudah bangun untuk mengejar flight pertama ke Surabaya pukul 06.00,” ucapnya. Begitu datang, dia langsung menuju Kampus B Unair dan kuliah hingga pukul 17.00. “Setelah itu, baru bisa beristirahat di guest house Unair dan berdiskusi,” tambahnya.

Minggu sekitar pukul 08.00, dia check out, tetap melanjutkan kuliah, dan sorenya langsung balik ke Jakarta. Begitu terus setiap akhir pekan. Kesibukannya bukan itu saja. Ibu delapan anak tersebut merupakan salah seorang ketua DPP partai yang kegiatannya menjelang pileg makin meningkat. Dia masih harus mengelola Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta Jurusan Financial Management, akademi D-3 miliknya. Urusan domestik pun tak kalah banyak. Maklum, Anis dikaruniai delapan anak.

Dengan moto “pengukuhan keluarga” dalam bidang yang diketuainya di DPP PKS, bagaimana bisa dia menjalankan semua kesibukan itu namun tak melalaikan keluarga? Bukankah semakin sedikit waktu untuk keluarga? Jawaban Anis awalnya adalah jawaban klasik. Yakni, yang terpenting adalah kuantitas, bukan kualitas.

Seperti apa praktiknya? Barulah Anis menunjukkan jawaban konkret. “Yang pertama, masalah pembagian tanggung jawab dan manajemen,” tuturnya.

Untuk itu, yang pertama dilakukan adalah menyatukan visi dan misi dengan suami. “Itu yang utama. Saya pun beruntung mendapat suami yang sudah satu visi. Kebetulan juga satu partai,” katanya lantas tersenyum. Isbir Renwarin juga menjadi salah seorang ketua di DPP PKS. Dia menjabat ketua Wilayah Dakwah Indonesia Timur.

Sama-sama menjadi politikus (dan yang pasti akan sibuk dengan agenda partai), Anis menyadari bahwa anak-anaknya rentan kurang perhatian. Karena itu, Anis mempunyai sejumlah kiat. Trik yang umum, menarik bibi untuk tinggal bersama dan menjadi kepala bagian rumah tangga. Dia menyempatkan diri untuk selalu berkomunikasi (yang biasanya dilakukan setelah salat berjamaah Subuh, Magrib, dan Isya).

Anis punya trik khusus. Yakni, menjadikan anak-anak sebagai “sekutu“ dalam mengurus rumah tangga. “Gampangannya seperti itu. Karena kami mempunyai delapan anak, empat anak yang sudah besar kebagian tanggung jawab mengurus empat adiknya. Termasuk memberikan bantuan belajar,” ucapnya.

Tidak tanggung-tanggung, empat anak terbesarnya juga diberi “gaji” layaknya guru les privat. “Saya beri pilihan. Apakah mau dipanggilkan guru les privat atau kalian sendiri yang mengajari adik-adik?” tuturnya. Karena mendapat tambahan uang saku, tentu saja keempat anaknya yang pertama langsung bertanya kembali. “Berapa Umi, kalau kami yang mengajar?” ujar anaknya sebagaimana ditirukan Anis.

Sistem yang diterapkan pun profesional. Bila salah seorang “guru” harus ujian, dia harus absen. “Honornya” selama absen harus diberikan kepada saudara yang menggantikan. “Saya yakin, mereka akan lebih bijak menggunakan uangnya karena mereka peroleh dengan keringat sendiri,” terangnya. Anak-anak senang dapat uang saku, Anis pun senang anak-anaknya mulai belajar bertanggung jawab dan mandiri.

Selain itu, sang ayah tak kalah kreatif. Secara acak, tiba-tiba saja dia mengumumkan ada perlombaan di kalangan anak-anaknya. Yakni, yang paling bagus dan rapi menata kamar akan mendapat hadiah Rp 500 ribu. Dengan metode interaktif seperti itu, tentu saja tiap anak berusaha keras merapikan dan menata kamarnya menjadi yang paling bagus dan indah. Rumah pun bersih serta rapi.

Selain mengadakan lomba dan memberikan insentif, Anis membagi tanggung jawab mengelola kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dia menyesuaikan dengan kemampuan serta karakter anak-anaknya. “Misalnya, anak kedua diberi beban tanggung jawab beres-beres rumah. Kemudian, ada yang menyapu halaman. Begitu seterusnya,” katanya.

Namun, Anis mengaku tak pernah menyuruh begitu saja. Dia sering menggelar dialog. Apa saja yang dikeluhkan? Apa ada masalah ketika menata rumah? Secara tak langsung, Anis telah mengajarkan tanggung jawab sekaligus membuat anak-anak tahu dan terlibat mengelola rumah secara mandiri.

Hingga pada satu titik, Anis dan suaminya tak perlu khawatir lagi ketika harus meninggalkan rumah untuk kepentingan partai maupun kepentingan yang lain. “Karena itu, saya bersyukur karena anak-anak bisa 'dilepas' dan mandiri. Saya bisa berfokus menjalani kuliah S-3 atau mengurusi politik,” ungkapnya.

Anis buru-buru menambahkan, anak-anaknya bisa mengeluh atau berbicara apa saja dan kapan saja ketika dirinya berada di luar rumah. “Kalau memang sifatnya mendesak, apa pun kepentingan saya di luar pasti akan saya tinggalkan untuk menyelesaikannya,” tegasnya.

Dengan hasil penerapan manajemen unik tersebut di rumah, dia kemudian mengadakan semacam sekolah di bidangnya. “Namanya sekolah keluarga. Bisa untuk istri, suami, dan untuk pasangan yang akan menikah,” terangnya. Hingga kemarin, telah ada 125 sekolah keluarga PKS itu di seluruh Indonesia.

Anis mempunyai pandangan yang cukup radikal terkait dengan perempuan dalam Islam. Menurut dia, kewajiban seorang muslimah dalam pernikahan itu yang pertama adalah kepada dirinya. “Dia (muslimah) harus mau maju dan berupaya tidak stuck. Dia harus pandai di luar dan mampu menunjukkan kiprah ke masyarakat. Itu muslimah yang baik,” tambahnya.

Tapi, dalam pandangan dia, kepandaian dan kepintaran muslimah itu di luar saja, jangan sampai di keluarga. “Contohnya, saya ini doktor. Tapi, doktor saya ini hanya di luaran. Begitu di dalam keluarga, saya akan tunduk kepada suami. Itulah yang membedakan pandangan saya dari kaum feminis,” tuturnya.

Menurut dia, seorang suami juga harus melihat potensi istrinya. Selanjutnya, menjadikan istrinya memenuhi potensi terbaiknya supaya berguna bagi masyarakat.

Dengan konsep seperti itu, perempuan sah-sah saja berhasil dalam karir dan sibuk. Tapi, tidak harus melalaikan tugas utamanya sebagai istri dan ibu. “Bisa berlaku pada perempuan mana pun kok ini,” ucapnya kemudian tersenyum. (*/c5/nda)